Pasar Tradisional: Sebuah Review Kritis



ABSTRAK
  
Arus utama dari berbagai studi tentang pasar tradisional adalah menaruh empati pasar tradisional yang dalam ambang kehancuran. Akhir beberapa studi pasar tradisional sebagian besar juga menawarkan revitalisasi pasar tradisional. Namun sebagian besar pula memberikan rekomendasi agar pasar tradisional mengejar pasar modern. Menurut penulis, pengarusutamaan pasar tradisional mengejar pasar modern hanya sebatas kontes empati semu, dan tidak disadari bahwa cara pandang tersebut telah berperan aktif dalam meluluhlantakkan pasar tradisional di lembah kemunduran. Karena mengejar pasar modern hanya sia-sia saja, sebab pasar tradisional akan selalu menggunakan teknologi sampah dari pasar modern.

Untuk itu pasar tradisional perlu menggunakan haluan yang khas pasar tradisional, bukan berhaluan pasar modern. Mengedepankan pasar tradisional sebagai identitas lokal, media membangun karakter bangsa, sumber sosialisasi generasi, sumber nilai-nilai sosial, basik laboratorium ekonomi, media pendidikan formal-nonformal dan informal, pengauatan dan ketahanan ekonomi lokal, hingga penguatan tradisi lokal, adalah suatu diversitas fungsi pasar tradisional yang tidak dimiliki oleh pasar modern. Pada saat itulah, pasar tradisional sebagai pemangku dan pemegang ekonomi lokal yang kokoh dan mapan, yang tidak akan terkikis oleh desakan pasar modern.

Tulisan ini disuguhkan sebagai review kritis dari beberapa studi tentang pasar tradisional, khususnya tulisan dari saudara Awan Santosa dan Puthut Indroyono dengan studinya yang berjudul Pedagang Pasar Tradisional Terancam dalam junal JER - No. 108/13 - 2011-03-11.

Kata kunci: Pasar tradisional, pasar modern, haluan pasar



PENDAHULUAN

 Tulisan ini berangkat pada Jurnal Ekonomi Rakyat dalam tulisan yang berjudul “Pedagang Pasar Tradisional Terancam” oleh Awan Santosa dan Puthut Indroyono. Menurut kedua penulis di atas, pasar tradisional dalam keadaan gawat. Jauh sebelum itu, studi yang dilakukan oleh Saputro (2008) juga berargumen demikian, bahwa pasar tradisional dalam keadaan terpinggirkan. Namun kepekaan penulis terdahulu dalam memandang social problem pasar tradisional ini berhenti pada kewajiban pasar tradisional untuk mengejar pasar modern. Apakah rekomendasi ini cukup teruji di lapangan, atau malah semakin tinggal landas menuju keadaan gawat dan terpinggirkan.

Tulisan ini akan menyusuri berbagai pandangan dari ahli yang diawali dengan studi yang mendalam dan ketat. Beberapa studi terdahulu yang terplih dalam mereview jurnal saudara Awan Santosa dan Puthut Indroyono adalah Gustriandi (2005), Agustinawati (2007), Susilo (2007), Saranita (2010), Nelawati (2010), Anam (2011), Sanjaya (2011), dan Suhadi (2011).

Dengan demikian tulisan ini dapat meletakkan diri akan mengapa dan bagaimana pasar tradisional sebagai simbol diversitas kemandirian ekonomi lokal yang cukup penting untuk dilestarikan.



KAJIAN PUSTAKA

 Menurut wikipedia.org (2011) pasar tradisional merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli serta ditandai dengan adanya transaksi penjual pembeli secara langsung dan biasanya ada proses tawar-menawar, bangunan biasanya terdiri dari kios-kios atau gerai, los dan dasaran terbuka yang dibuka oleh penjual maupun suatu pengelola pasar. Kebanyakan menjual kebutuhan sehari-hari seperti bahan-bahan makanan berupa ikan, buah, sayur-sayuran, telur, daging, kain, pakaian barang elektronik, jasa dan lain-lain. Selain itu, ada pula yang menjual kue-kue dan barang-barang lainnya. Pasar seperti ini masih banyak ditemukan di Indonesia, dan umumnya terletak dekat kawasan perumahan agar memudahkan pembeli untuk mencapai pasar. Beberapa pasar tradisional yang "legendaris" antara lain adalah pasar Beringharjo di Yogyakarta, pasar Klewer di Solo, pasar Johar di Semarang. Pasar tradisional di seluruh Indonesia terus mencoba bertahan menghadapi serangan dari pasar modern.

Kekuatan pasar tradisional menurut wikipedia.org di atas yaitu adanya proses tawar-menawar, barang yang diperdagangkan sebagian besar adalah hasil tani yang masih dalam kondisi segar, dan lokasi pasar yang dekat dengan pemukiman. Namun mengapa kekuatan itu kiranya menjadi kelemahan saat ini. dalam proses tawar menawar yaitu bertemunya pedagang dan pembeli. Saya lihat tidak hanya tawar menawar, proses interaksi sosial secara luas juga terjadi di dalam pasar. Pedagang bertemu dengan pedagang, pembeli bertemu dengan pembeli, dan pertemuan pedagang dengan pembeli tidak hanya sebatas tawar menawar harga barang, jauh dari itu ada fungsi pasar tradisional yaitu sebagai laboratorium ekonomi sosial budaya yang cukup luas.

Inilah yang menjadi daya tarik yang cukup luar biasa. Hanya saja para pembeli dan pedagang tidak melandasi interaksinya dengan tatanan nilai yang dasar yang sifatnya tidak tergantikan. Jika hanya demikian, pasar modern akan meminjam proses interaksi sosial yang ada di pasar tradisional. Kemudian beralihlah para pembeli ke pasar tradisional. Untuk itu para pedagang dan pembeli bersama-sama menjadi interaksi ekonomi sosial budaya di pasar tradisional untuk lebih mantap dan berkualitas. Tindakan penyimpangan perilaku ekonomi seminimal mungkin tidak ditampilkan. Kerena tindakan tersebut tidak sulit ditemukan dalam transaksi di pasar modern yang mengandalkan media iklan yang berfungsi laten, walaupun semu. Kejujuran dan kearifan menjadi daya tarik dalam transasksi ekonomi sosial budaya dalam pasar tradisional.

Menurut Saputro (2008) keberadaan pasar tradisional kini secara pelan tapi pasti kian terpinggirkan, tidak hanya secara lokasi tetapi juga oleh konsumen. Ketersediaan fasilitas dan utilitas yang tidak memadai di pasar-pasar tradisional harus diakhiri, karena akan meningkatkan bahaya keamanan pangan. Di sisi lain, revitalisasi terhadap pasar tradisional mendesak untuk dilakukan agar tidak punah

Dalam studi Agustinawati (2007) tentang Kehidupan Pasar Tradisional (Studi Struktur dan Organisasi Pedagang Kain Pasar Tradisional Klewer), memfokuskan studinya tentang gambaran kultur sosial yang ada di komunitas pedagang kain pasar Klewer. Menggambarkan struktur yang meliputi bentuk, relasi, kolektivitas dan hubungan antar golongan. Hubungan atau relasi dalam perilaku ekonomi tidak berjalan dengan sendirinya, tetapi masih diwarnai dengan nilai-nilai turun-temurun tentang sistem yang digunakan dalam kehidupan pasar. Nilai-nilai ini melembaga dalam kehidupan sebagai nilai hakekat kehidupan yang mampu menyeimbangkan hubungan antar individu ditengah persaingan dagang yang ketat dan sering sangat tajam. 

Dalam studi ini belum nampak nilai-nilai sosial yang dibedah. Apa muatan yang ada di dalamnya. Hubungan nilai-nilai sosial degan eksistensi pasar tradisional juga belum dipertajam. Untuk itu perlu eksplanasi tentang dua hubungan hal di atas.
Memang secara fungsional, jika terjadi kehancuran pasar tradisional, tentu ada nilai pendukung yang berperan aktif dalam pengancuran pasar tradisional. Jika demikian perlu direkayasan ulang akan nilai-nilai sosial yang mampu menciptakan ketahanan pasar tradisional.

Dalam penelitian Susilo (2010) dinyatakan terdapat 32% dari sampelnya terdapat keperluan lain dari masyarakat selain membeli barang, seperti: jualan, menyetok barang, jalan-jalan, menabung, nongkrong, narik becak, mencari teman, bekerja sebagai tukang parkir, rekreasi dengan anak, mengambil sampah, memulung plastik dan ngojek. Ini yang menjadi subtansi pasar tradisional sebagai ruang publik bagi masyarakat terutama masyarakat kelas menengah kebawah.

Paparan Susilo tersebut kembali mengingatkan kita pada urgensitas pasar tradisional yang masih dilirik oleh masyarakat. Pasar tradisional masih menjadi ruang publik dan masih menjadi milik publik. Tiga puluh dua persen masyarakat adalah jumlah yang tinggi dimana masyarakat masih melakukan proses pembelian barang, baik barang konsumtif maupun nonkonsumtif sebagai tanda kelas sosial mereka. Jumlah di atas perlu ditangkap oleh pasar tradisional, dan membendung mobilitas konsumen ke pasar modern. Ini bukan pekerjaan mudah untuk civitas pasar tradisional. Ikatan-ikatan sosial dan identitas sosial barangkali menjadi petanda untuk disuguhkan agar pasar tradisional sebagai kontekstualisasi dan aktualisasi konsumen agar tidak lepas dari pasar tradisional. Ingat, mobilitas konsumen tidak hanya sebatas kemana konsumen membeli barang, apakah ke pasar tradisional atau ke pasar modern. Menjadi penting kemudian adalah apa barang akan dipilih oleh konsumen, apakah barang-barang dari produk lokal atau produk non lokal. Dengan demikian, pasar modern tidak hanya sebatas pendekatan ruang dan waktu saja, namun asal-usul barang-barang yang mendominasi di pasar modern adalah lebih penting untuk diperhatikan. Banyak fenomena yang meluas bahwa pasar tradisional semakin menggeliat, namun produknya tidak produk lokal, namun produk import.

Banyak literatur menyatakan dalam pasar tradisional terdapat interaksi sosial beragam dari individu yang berkecimpung di dalamnya, baik dari masyarakat sekitar maupun dari pedagang pasar sendiri. Menurut Anam (2011, dalam http://sendyakalaning.blogspot.com/2011/02/analisa-permasalahan-pasar-dinoyo.html) ikatan sosial yang terbangun dari intensitas pertemuan di pasar kemudian berubah menjadi struktur yang mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat pasar tradisional.

Studi tentang ikatan sosial sudah mendesak dikritisi ulang. Studi antroposentris tentang ikatan sosial sebagian besar hanya fokus pada kepentingan regulasi dan kepentingan kuasa. Ikatan-ikatan sosial yang berperan aktif dalam memproduksi ikatan yang mesra antara pedagan dan pembeli di pasar konsumen tidak banyak dilakukan.

Jika kemudian ikatan sosial di pasar tradisional itu membangun struktur relasi antara pedagang dan pembeli, maka kualitas ikatan sosial perlu diketahu derajatnya. Apakah ikatan sosial itu seperti yang ungkapkan oleh Durkheim dengan gemainschaft-nya. Ataukah ikatan sosial di pasar tradisional itu lebih pada modern, formal, dan legal.

Terpinggirkannya pasar tradisional tak dapat lepas dari meanstream manusia pada saat iin, yaitu meanstream industrialism. Menurut Susilo (2007) paham ini tumbuh subur dikarenakan beberapa hal. Pertama, paham antroposentrisme menjadi bagian interaksi antara manusia dengan lingkungan tidak terlepas dari rasa percaya diri manusia yang berlebihan (over confidence). Hukum-hukum alam dikesampingkan dan manusia selalu berubah dan tidak terbatas. Kedua faith in technology adalah keyakinan yang mengilhami segala sesuatu dapat diselesaikan dengan bantuan tekhnologi. Tekhnologi telah menghadirkan pemenuhan kebutuhan dengan cara instan dan bersifat masal. Ketiga, growth ethic, yakni etika ingin maju terus. Pada awalnya terkait dengan etika agama yang mengharuskan pemeluknya untuk terus berusaha dalam mencapai kesuksesan hidup. Perkembangannya pada era modern merubah pemikiran manusia dalm kaitannya dengan ethos. Selain keberhasilan ethos ini diukur melalui keberhasilan melainkan diukur dari prestasi kerja yang dihasilkan dan keberhasilan mengumpulkan kekayaan material atau dalam bahasa yang umum sebagai akumulasi materiil.

Selanjutnya keempat, materialism, yakni, kemoderenan diukur dengan tindakan-tindakan konsomsi yang dilakukan manusia. Konsumsi bukan lagi sekedar sebagai sarana untuk bertahan hidup atau menjaga kelangsungan hidup manusia, tetapi justru konsumsi berubah menjadi pola hidup. Konsumsi dianggap gaya hidup baru yang diyakini sebagai salah satu simbol dari kemodernan. Akibatnya, konsumsi menjadi semacam candu yang tidak bisa dikendalikan sehingga Negara maupun masyarakat berlomba-lomba mencari sumber-sumber material untuk memanjakan nafsu mereka. Kelima, individualism, yakni sikap dan keyakinan dengan menekankan dorongan personal tanpa memikirkan kepentingan dan kerugian dari pihak lain. Sekelompok masyarakat yang memiliki hak mengelola dan hak mengatur alam tidak jarang menyebabkan watak indiviualisme berkembang subur.

Lima faktor ala Susilo  ini (over confidence, faith in technology, growth ethic, materialism, dan individualism) telah tampak dengan jelas bahwa gerbang kehancuran pasar tradisional tidak hanya dirusak dari luar (exward looking), namun juga dari dalam sendiri (inward looking). Dua hal ini kemudian bercampuraduk dengan melahirkan aroma baru, yaitu pasar tengahan, alias pasar modern tidak, pasar tradisional juga tidak. Permasalahan yang muncul seperti pasar modern, tapi tindakan untuk menyelesaikan seperti pasar tradisional. Memang, mau tidak mau, masyarakat pemilik mutlak pasar tradisional harus kritis melihat fenomena ini.

Dari hasil penelitian Gustriandi (2005) tentang social capital pedagang kaki lima, meyimpulkan, terbentuknya jaringan pedagang kaki lima dengan berbagai pihak adalah dari kerjasama yang dilandasi hubungan moral kepercayaan. Temuan Gustriandi di lapangan menunjukkan ada 4 (empat) pedagang kaki lima dengan berbagai pihak, yaitu jaringan dengan keluarga, agen, sesama pedagang kaki lima, dan Iangganan. Keempat jaringan tersebut dapat dikategorikan menjadi 3 (tiga) jaringan, yaitu jaringan keluarga, jaringan pertemanan, dan jaringan usaha. Ketiga jaringan pedagang kaki lima ini masing-masing memiliki pola hubungan sosial yang berbeda.

Fifiyani (2008) menyatakan kehidupan pasar tradisional sebagai sebuah mata rantai dalam menumbuhkembangkan serta pemberdayaan pasar tradisional sebagai salah satu urat nasi kehidupan masyarakat.  Pasar tradisional bukanlah berbau tradisonal, bahwa sikap dan perilaku orang dalam transaksi di pasar tradisionallah yang tak dapat dilepaskan dari budaya dan sistem kepercayaan yang bertumpu pada perwatakan lokal.

Studi Nelawati (2010) tentang makna sosial pasar bagi kosumen, dengan menggunaan pendekatan teori interaksi simbolik Herbert Blumer dan teori pilihan rasional James C. Coleman.

Dalam teori interaksi simbolik Herbert Blumer, yang didasarkan pada tiga premis yaitu premis pertama bahwa manusia bertindak atas "yang berarti". Premis kedua, dengan pemahaman, pandangan dan pengalaman pembeli dapat hasil dari interaksi dengan konsumen lainnya baik dengan tetangga, kerabat atau teman dan mempengaruhi berarti mereka disebabkan, dan melalui interpretasi tindakan mereka. Premis ketiga yang melalui proses interaksi dapat meningkatkan pemahaman, pandangan dan pengalaman yang dimiliki oleh pembeli tentang pasar tradisional dan pasar modern. 

Teori pilihan rasional dengan ide dasar bahwa tindakan Coleman dalam satu tujuan menagarah, dan tujuan (dan juga tindakan) ditentukan oleh nilai atau pilihan (preferensi). Dalam hal ini ketika pembeli membuat tindakan yang mengarah ke tujuan pembeli tindakan mereka memilih berbelanja di pasar tradisional, itu akan menjadi tujuan pilihan mereka di mana untuk berbelanja di pasar tradisional ditentukan oleh nilai - nilai atau pilihan yang merekapertimbangkan sebagai pilihan rasional. Hal ini juga dipengaruhi oleh pemahman dan pengalaman mereka merasa bahwa berdasarkan pelanggan ini untuk membuat tindakan. Hal ini juga berlaku untuk pembeli yang memilih pasar modern, mereka memilih untuk melakukan tindakan berbelanja di pasar modern, itu mengarah ke tujuan mana tujuan juga ditentukan oleh nilai atau pilihan. Pilihan rasional seseorang yang memilih untuk berbelanja di pasar modern karena kenyamanan berbelanja, atau fasilitas yang diberikan lengkap dan lain-lain. Ini adalah pilihan bagi individu apakah mereka akan lebih memilih pasar tradisional atau pasar modern.

Saranita (2010) dari hasil Analisis Perilaku Konsumen yang Berbelanja Pada Pasar Tradisional (Studi Kasus pada Konsumen di Pasar Soponyono) menyimpulkan bahwa sebagian besar konsumen yang berbelanja di Pasar Soponyono Rungkut adalah wanita dengan usia 44-52 tahun dengan status sudah menikah dan memiliki pekerjaan sebagai ibu rumah tangga, penghasilan tiap bulan sebesar diatas Rp 1.000.001,00-Rp 3.000.000,00. Produk yang biasa dibeli oleh konsumen Pasar Soponyono Rungkut adalah kebutuhan pokok, produk di Pasar Soponyono Rungkut lengkap dengan kualitas yang baik.

Harga produk di Pasar Soponyono Rungkut masih wajar atau normal, konsumen pernah dan selalu menawar produk yang akan dibeli dan sering memperoleh produk yang sesuai dengan yang diharapkan konsumen. Lokasi Pasar Soponyono Rungkut strategis dan rata-rata jarak rumah responden dengan pasar berjarak kurang dari 1 km. Pelayanan penjual Pasar Soponyono Rungkut baik dengan pertimbangan kejujuran, keramahan dan kecepatan dalam pelayanan penjualan, sebagian responden tidak pernah kecewa dengan sikap penjual. Keamanan lingkungan maupun fasilitas parkir Pasar Soponyono Rungkut baik dengan petugas keamanan yang telah terkoordinasi dengan baik. Kondisi kebersihan dan kondisi lingkungan Pasar Soponyono Rungkut baik. Fasilitas tempat parkir dan fasilitas toilet di Pasar Soponyono Rungkut cukup baik. Keyword : Produk, Harga, Lokasi, Pelayanan, Keamanan, Kebersihan, Fasilitas.

Studi Saranita (2010) di atas mendapatkan temuan penting bahwa pasar tradisional adalah milik pembeli perempuan yang usianya paruh baya. Lantas dimana pembeli yang berusia muda? Apakah mereka tidak membeli barang atau membeli barang di luar pasar tradisional? Temuan studi ini cukup penting diperhatikan. Karena masyarakat pengikut dari pasar tradisional dalam keadaan riskan dan menyedihkan. Pasar tradisional yang berfungsi media besar dan terbuka untuk belajar perdagangan dengan kearifan dan kejujuran, telah ditinggalkan para generasi muda. Apakah ini proses sosialisasi yang putus antara generasi tua dan generasi muda? Jika demikian perlu dilakukan proses sosialisasi generasi tua dan muda akan fungsi pasar tradisional.

Menurut Sanjaya (2011) persaingan sengit dalam industri ritel telah melanda negara-negara maju sejak abad yang lalu, khususnya di Amerika Serikat dan Eropa Barat. Persaingan terjadi terutama antara usaha ritel tradisional dan ritel modern (supermarket dan hipermarket). Namun, menjelang dekade akhir milenium lalu persaingan telah meluas hingga ke negara-negara berkembang, di mana deregulasi sektor usaha ritel yang bertujuan untuk meningkatkan investasi asing langsung (IAL) telah berdampak pada pengembangan jaringan supermarket (Reardon & Hopkins 2006). Reardon et al (2003) menemukan bahwa sejak 2003 pangsa pasar supermarket di sektor usaha ritel makanan di banyak Negara berkembang seperti Korea Selatan, Thailand, Taiwan, Meksiko, Polandia, dan Hongaria telah mencapai 50%. Di Brazil dan Argentina, di mana perkembangan supermarket telah lebih dulu dimulai, pangsa pasarnya mencapai sekitar 60%. Traill (2006) menggunakan berbagai asumsi dan memprediksi bahwa menjelang 2015, pangsa pasar supermarket akan mencapai 61% di Argentina, Meksiko, dan Polandia; 67% di Hongaria; dan 76% di Brazil.
Sanjaya (2011) menambahkan, di Indonesia, supermarket lokal telah ada sejak 1970-an, meskipun masih terkonsentrasi di kota-kota besar. Supermarket bermerek asing mulai masuk ke Indonesia pada akhir 1990-an semenjak kebijakan investasi asing langsung dalam sektor usaha ritel dibuka pada 1998. Meningkatnya persaingan telah mendorong kemunculan supermarket di kotakota lebih kecil dalam rangka untuk mencari pelanggan baru dan terjadinya perang harga. Akibatnya, bila supermarket Indonesia hanya melayani masyarakat kelas menengah-atas pada era 1980-an dan awal 1990-an, penjamuran supermarket hingga ke kota-kota kecil dan adanya praktik pemangsaan melalui strategi pemangkasan harga memungkinkan konsumen kelas menengah-bawah untuk mengakses supermarket.


PEMBAHASAN
  
Rekomendasi Terpuruk

Rekomendasi dari saudara Awan Santosa dan Puthut Indroyono tak ubahnya sebagai rekomendasi terpuruk untuk pasar tradisional. Dengan mudahnya mereka berdua merekomendasikan bahwa pasar tradisional harus mengejar pasar modern. Tragedi muncul kemudian telah terbukti, atas rekomendasi demikian. Beberapa tragedi karena imbas rekomendasi di atas adalah pasar terbakar, konflik pasar, regulasi harga tidak menentu, kelahnya pedagang pasar imbas monopoli pemodal besar, pedagang pasar yang gulungtikar, hingga kekuasaan pasar modern menjadi pengendali sirkulasi barang dan harga di pasar tradisional. Dalam ulasan Suhadi (2011) memaparkan bahwa langkah seribu pasar tradisional mengejar pasar modern hanya menciptakan kesemrawutan akan status dan peranan sturktus pasar tradisional yang kemudian melahirkan stadart safety pasar tradisional di bawah rata-rata. Mengapa demikian?

Rekomendasi yang dipandang baik ini telah dimainkan oleh ruang yang salah. Renovasi pasar dan relokasi pasar misalnya. Perilaku rekomendasi yang diharapkan akan membawa kabar baik malah sebaliknya. Hal ini terjadi karena tindakan menjalankan rekomendasi tidak diatur dengan ketat. Para kuasa, pemodal, dan pedagang berduit tebal saling mengedepankan keuntungan. Para kuasa sebisa mungkin untung dengan proyek rekomendasi. Impacnya adalah kualitas hasil rekomendasi itu dibawah rata-rata. Pemodal pun demikian, mereka saling berebut untuk cari untung dengan berbagai kesempatan dalam mengendalikan proyek, termasuk pada pedagang berduit tebal. Jelas tidak hanya pasar tradisional semakin terpinggirkan seperti yang diungkap Saputro (2008) namun juga semakin terlemparnya pedagang pasar yang hanya memiliki modal recehan. Menurut Suhadi (2011) inilah awal penghancuran pasar tradisional karena antara pedagang pasar saling membunuh satu dengan yang lain. 

Mobilitasi Pembeli Hilang Kendali

Keadaan darurat itu kemudian ditambah dengan peranan iklan di televisi yang massif dalam menawarkan barang dagangan di pasar modern. Pasar tradisional yang telah di himpit oleh rekomendasi terpuruk, masih ditampah terbuangnya ruang sosial para konsumen di pasar tradisional karena mereka dipaksa mobilisasi ke pasar modern dengan hadirnya iklan di televisi dalam sehari-harinya. Katakanlah pasar tradisional sudah jatuh tertimpa tangga.

Peran kelompok sosial dalam memobilitasi konsumen ke pasar tradisional tidak hadir di permukaan. Dengan sentuhan budaya semu, iklan telah mendorong ke gerbang pasar modern. Anehnya para tokoh masyarakat yang menjadi penjaga di garda depan dalam menyelamatkan pasar tradisonal malah memilih dapat royalti dari bintang iklan pada pemodal dan pemegang pasar modern. Sungguh keadaan yang penuh dengan kesemrawutan. Jika demikian, betul apa kata Susilo (2007) dimana kita telah teracuni faham-faham industrialism yang bercorak individualism. Sudah saatnya membangkitkan peranan kelompok sosial dalam menyadarkan para konsumen, agar mobilitas konsumen tidak meninggalkan pasar tradisional.

Haluan Pasar Tradisional

Menurut penulis, strategi mengejar pasar modern adalah tindakan yang fatal apalagi eksekusi dari rekomendasi itu terjadi kesemrawutan. Untuk itu pasar tradisional perlu menggunakan haluan yang khas pasar tradisional, bukan berhaluan pasar modern. Mengedepankan pasar tradisional sebagai identitas lokal, media membangun karakter bangsa, sumber sosialisasi generasi, sumber nilai-nilai sosial, basik laboratorium ekonomi, media pendidikan formal-nonformal dan informal, pengauatan dan ketahanan ekonomi lokal, hingga penguatan tradisi lokal, adalah suatu diversitas fungsi pasar tradisional yang tidak dimiliki oleh pasar modern. Pada saat itulah, pasar tradisional sebagai pemangku dan pemegang ekonomi lokal yang kokoh dan mapan, yang tidak akan terkikis oleh desakan pasar modern.



PENUTUP


Haluan pasar tradisional merupakan suatu meanstrem sikap dan perilaku untuk mewujudkan tatanan sosial yang mandiri dalam meraih kesejahteraan sosial. Haluan pasar tradisional tidak semata-mata menolak kehadiran pasar tradisional, jauh dari itu, sebisa mungkin pasar tradisional jauh mencari ruang di pasar-pasar modern. Bukan pasar tradisonal yang menjadi ruang pasar modern. Pasar tradisional adalah simbol pembangunan mental sosial ekonomi masyarakat. Menjadi pengendali atau dikendalikan adalah suatu tindakan, mana yang seharusnya kita lakukan.



DAFTAR PUSTAKA

 Agustinawati, Eva. 2007. Kehidupan Pasar Tradisional (Studi Struktur dan Organisasi Pedagang Kain Pasar Tradisional Klewer ).Surakarta. FISIP UNS.
Fidiyani, Rini. 2008. Antropologi Ekonomi (Pengkajian Mengenai Aktivitas Perdagangan Di Pasar Tradisional Banyumas). Semarang: Badan Penerbit Undip.
Gustriandi, Noviar. 2005. Modal Sosial Pedagang Kaki Lima: Studi Kasus Dua Pedagang Kaki Lima di Pasar Tradisional Flamboyan dan Dahlia kota Pontianak. UNSPECIFIED thesis, UNSPECIFIED.
Nelawati, Titis Elok. 2010. Makna Sosial Pasar Bagi Konsumen (Studi Makna Sosial Pasar Tradisional dan Pasar Modern bagi Ibu – Ibu Rumah Tangga Di Desa Genteng KulonKecamatan Genteng Kabupaten Banyuwangi). Undergraduate thesis, University of Muhammadiyah Malang.

Saputro, Edy Purwo. 2008. Pasar Tradisional Versus Pasar Modern. Dalam Surat Kabar Suara Merdeka Kolom Wacana, terbitan 29 Juli 2008.

Santosa, Awan dan Puthut Indroyono. 2011. Pedagang Pasar Tradisional Terancam. Dalam JER - No. 108/13 - 2011-03-11.

Saranita Kencana, Sari. 2010. Analisis Perilaku Konsumen Yang Berbelanja Pada Pasar Tradisional (Studi Kasus Pada Konsumen Pasar Soponyono Rungkut) SKRIPSI. Undergraduate thesis, Faculty of Social Science and politics.
Susilo, Dwi K Rachmad. 2007. Sosiologi Lingkungan. Malang. UMM Press.
Suhadi. 2011. Relasi Dinamika Sosial Masyarakat Pamotan. Dalam http://www.scribd.com/doc/57898009/Relasi-Dinamika-Sosial-Masyarakat-Pamotan. Diunduh pada tanggal 21 Juni 2011.
Wikipedia.org. 2011. Pasar. Dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Pasar. Diunduh pada tanggal 21 Juni 2011.

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Pasar Tradisional: Sebuah Review Kritis"

Post a Comment