Petani vs Barang Impor

Petani vs Barang Impor:
Sebuah Studi Kebijakan Pemerintah Dalam Melindungi Petani

Oleh: Suhadi Rembang 

A.     PENDHAULUAN
Petani dan pertanian merupakan dua kata yang maknanya tak terpisahkan. Petani merupakan subyek, sedangkan pertanian merupakan aktivitas dimana subyek itu memainkan peran. Karena itu tak ada petani tanpa pertanian dan tak ada pertanian tanpa petani. Menurut Pakpahan (2004) pertanian di negara-negara maju basisnya adalah petani, bukan perusahaan besar. Kecuali di negara-negara bekas jajahanlah perusahaan besar melakukan kegiatan pertanian dengan struktur perusahaan besar. Pola ini merupakan peninggalan penjajah, yang mewariskan struktur ekonomi sebagaimana dinamakan Booke struktur ekonomi dualistik.
Perkembangan dan globalisasi membawa pengaruh yang besar terhadap konsumsi masyarakat akan produk-produk kebutuhannya yang dominan berasal dari produk impor. Keberadaan produk impor yang telah menjamur di pasar modern juga telah membanjiri pasar tradisional sehingga pasaran produk-produk domestik mulai berkurang. Menurut hasil penelitian dari Hutabarat (2010) menyimpulkan bahwa produk yang memberi kontribusi terbesar terhadap pendapatan pedagang yaitu produk impor. Hal inilah yang mendorong daya tarik barang impor diperdagangkan di pasar-pasar modern hingga tradisinonal.
Potensi Indonesia dengan populasi penduduk yang besar dikhawatirkan hanya akan dijadikan pasar dalam kerangka ASEAN Economic Community (H.U. Kompas, 2010). Kebijakan pemerintah dalam mengatur bahan baku, kebijakan perizinan, penyediaan infrastruktur, keterbatasan energi, biaya produksi yang tinggi, hingga suku bunga perbankan menyebabkan industri nasional sulit berdaya saing. Ketidakmampuan industri nasional bersaing, terutama usaha kecil dan menengah (UKM), diungkap dalam Forum Komunikasi Pimpinan Kementerian Perindustrian dengan dunia usaha dan instansi terkait di Yogyakarta. Indonesia mulai menjadi sasaran produk pertanian impor ilegal. Kasusnya diketahui setelah upaya memasukkan bawang merah sebanyak 22,5 ton asal Malaysia dan Thailand digagalkan Balai Karantina Pertanian Cilegon pada 1 Maret 2010 (H.U. Kompas, 2011).
Untuk itu, negara (dalam hal ini adalah pemerintah) harus hadir dalam melindungi petani dari kekuatan barang impor dalam bentuk kebijakan yang populis untuk melidungi produk petani dan beberapa Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Dengan demikian kehidupan petani semakin sejahtera.

B.     PEMBAHASAN
H.U Kompas (2011) melaporkan alokasi impor beras dari Bulog adalah 1,5 juta ton. Selama tahun 2010 terealisasi 670.000 ton dan sisanya akan dihabiskan tahun 2011 ini. Kondisi tersebut berbanding terbalik dengan data dari kementerian Pertanian yang menyebutkan hingga akhir tahun 2010 Indonesia mengalami surplus beras sampai 4 juta ton. Sedangkan Jateng surplus hingga 2,9 ton dan menyumbang 16 persen ketahanan pangan nasional.
Berdasarkan data Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan menyebutkan bahwa rasio nilai impor produk industri yang berasal dari RRT terhadap total nilai impor Indonesia dari dunia pada tahun 2010 sebesar 15% dengan peningkatan sebesar 45,9% dibandingkan tahun 2009. Sedangkan rasio nilai ekspor Indonesia yang diekspor ke RRT terhadap total nilai ekspor Indonesia ke dunia selama 2010 adalah sekitar 10% dengan peningkatan sebesar 36,5% dibanding tahun sebelumnya.
Sementara itu, rasio impor untuk produk elektronika, furnitur, logam, mainan, permesinan dan tekstil dan produk tekstil (TPT) dari RRT dibandingkan dengan impor dari dunia pada tahun 2010 secara berurutan 36%, 54%, 18%, 73%, 22% dan 34%. Untuk impor mainan, RRT menguasai hingga 73% dari total keseluruhan impor Indonesia.
Padahal menurut Yusuf dan Widyastutik dalam penelitiannya tentang analisis pengaruh ekspor-impor komoditas pangan utama  dan liberalisasi perdagangan terhadap neraca perdagangan indonesia, bahwa ekspor komoditas pangan dalam jangka pendek dan jangka panjang berpengaruh negatif terhadap neraca perdagangan non-migas Indonesia. Namun dalam jangka pendek, ekspor komoditas pangan berpengaruh signifikan, sedangkan dalam jangka panjang berpengaruh tidak signifikan. Kondisi tersebut dapat terjadi karena ekspor komoditas pangan Indonesia didominasi oleh ekspor komoditas pangan olahan yang bahan bakunya diperoleh dari impor pangan segar.
Kebijakan pemerintah dalam melindungai petani menandakan sejarah buram. Hal ini dapat dilihat dari laporan AGRA (2010) tentang bentuk-bentuk perampasan tanah selama periode 2004-2010. Pada pokoknya perampasan tanah yang terjadi dewasa ini, berlandaskan pada monopoli tanah yang telah ada sebelumnya. Monopoli tanah yang telah ada sebelumnya di Indonesia yang telah dibangun selama 32 tahun masa rezim fasis Orde Baru (1966-1998), sesungguhnya telah lebih memudahkan proses-proses perampasan tanah yang terjadi dewasa ini.
Monopoli tanah yang terjadi di masa Orde Baru terutama terjadi dalam bentuk konsentrasi penguasaan tanah-tanah pertanian melalui skema Revolusi Hijau, penguasaan tanah-tanah perkebunan melalui skema Hak Guna Usaha (HGU), penguasaan tanah-tanah hutan melalui konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hutan Tanaman Industri (HTI), penetapan kawasan taman nasional, penguasaan tanah-tanah pertambangan melalui konsesi pertambangan seperti kontrak karya pertambangan, serta konsentrasi penguasaan tanah untuk pembangunan infrastruktur, pemukiman (properti), dan pembangunan infrastruktur militer.
Metode perampasan tanah yang termasuk keras lainnya adalah intimidasi, pemenjaraan, penculikan, pemidanaan, dan teror terhadap kaum tani agar melepaskan tanahnya. Metode ini biasanya dilakukan guna mencegah kaum tani bangkit bersatu dalam melakukan perlawanan terhadap para perampas tanah rakyat.
Selain itu akibat dari perampasan tanah juga bisa dilihat dari kehidupan kaum tani secara umum setelah perampasan tanah terjadi ataupun potensi kehilangan sumber mata pencaharian, kebudayaan, dan lain sebagainya, serta kekerasan yang menyertai peristiwa-peristiwa perampasan tanah. Berikut merupakan jumlah tanah rakyat yang dirampas dalam periode 2004 hingga 2010 oleh pemerintah dan swasta.

Tabel. Jumlah Tanah Rakyat yang Dirampas
Dalam Periode 2004-2010 untuk Sektor Perkebunan

No
Pelaku – Proyek – Program
Lokasi
Jumlah (hektar)
Keterangan
Masyarakat yang Kena
1
PT Perkebunan Nusantara (PTPN)
Seluruh Indonesia
1.729.251
Meliputi lebih dari 7 komoditas perkebunan, di luar Rajawali
Berdasarkan data pada tahun 2008, sedikitnya 10 juta jiwa petani yang hidup dari kebun kelapa sawit swadaya.
2
Perkebunan Besar Swasta (Cargill, Sinar Mas, dan lain-lain)
Seluruh Indonesia
21.267.510
Meliputi 7 komoditas perkebunan
3
Kalimantan Border Oil Palm Mega Project
Perbatasan Indonesia – Malayasia
1.800.000
Komoditas sawit untuk produksi energi nabati
1-1,4 juta suku bangsa minoritas Dayak di Provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur.

Total

24.796.761

11,4 juta orang
Sumber: Eric Wakker, 2006, publikasi Sawit Watch tentang ekspansi perkebunan kelapa sawit dan Direkorat Jenderal Perkebunan Republik Indonesia, tentang komoditas perkebunan.

Pemerintah harusnya konsisten terhadap peraturan yang telah dibuat sebelumnya dalam melindungi petani. Seperti yang tertera dalam Undang-Undang Sistem Budidaya Tanaman 1992 merupakan undang-undang yang memberikan jaminan kebebasan kepada petani untuk memilih tanaman atau ternak sesuai dengan keinginan petani.
Pengadaan pangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh penduduk dan sesuai dengan persyaratan gizi, merupakan masalah terbesar sepanjang sejarah kehidupan manusia. Pertanyaan yang sering timbul ialah “Apakah produksi pangan akan mampu mengimbangi ledakan pertambahan penduduk? Untuk itu perlu dilakukan perlindungan bahan makanan dengan status bahan pangan yang tahan impor. Menurut NBM (2009) pengelompokkan bahan makanan tersebut adalah sebagai berikut : padi-padian, makanan berpati, buah/biji berminyak, buah-buahan, sayuran, daging, telur, susu, ikan serta kelompok minyak dan lemak.
Selain mewujudkan status bahan pangan tahan impor, pemerintah juga perlu mengawai dengan ketat dari berbagai bahan impor yang masuk dalam wilayah padean dari berbagai program kerjasama pemerintah dengan dunia luar. Tetapi tindakan tersebut tidak mudah, karena menurut Nuryanti (2010) kerjasama pemerintah terhadap invetor asing berpotensi memperlemah upaya pemerintah untuk merevitalisasi pertanian dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat petani. Untuk itu diperlukan juga pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) merupakan salah satu bagian penting dari perekonomian suatu negara ataupun daerah, tidak terkecuali di Indonesia.
Wie (1993) mengemukakan bahwa pengembangan industri kecil adalah cara yang dinilai besar peranannya dalam pengembangan industri manufaktur. Pengembangan industri berskala kecil akan membantu mengatasi masalah pengangguran, mengingat teknologi yang digunakan adalah teknologi padat karya, sehingga dengan demikian selain dapat memperbesar lapangan  kerja dan kesempatan usaha, yang pada akhirnya dapat mendorong pembangunan daerah dan kawasan pedesaan.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 9 tahun  1995 pasal 1 angka 1;  tentang usaha kecil dan koperasi, Usaha kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan serta kepemilikan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.
Kriteria usaha kecil menurut Undang-Undang Usaha Kecil dan kopersi diantaranya adalah :
-         Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp.200.000.000,00 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
-         Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 1.000.000.000.00
-         Milik warga negara Indonesia
-         Berdiri sendiri bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasi atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha menengah dan besar, dan
-         Berbentuk usaha orang perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum seperti koperasi.     

Menurut Eugene dan Morce (1965), tipe kebijakan pemerintah sangat menentukan pertumbuhan UKM. Ada empat pilihan: (1) Kebijakan do nothing policy: pemerintah apapun alasannya sadar tidak perlu berbuat apa-apa dan membiarkan UKM begitu saja, (2) kebijakan memberi perlindungan (protection policy) terhadap UKM: kebijakan ini bersifat melindungi UKM dari kompetisi dan bahkan memberi subsidi, (3) kebijakan berdasarkan ideology pembangunan (developmentalist): kebijakan ini memilih industri yang potensial, (picking the winner) namun tidak diberi subsidi dan (4) kebijakan yang semakin popular adalah apa yang disebut market friendly policy dengan penekanan pada pilihan brood based, tanpa subsidi dan kompetisi.
Pemerintah perlu menciptakan kondisi yang kondusif untuk mendorong perkembangan UKM yang bergairah dan dinamis. Untuk ini, yang merupakan kepentingan utama UKM adalah apabila pertumbuhan ekonomi yang ekspansif. Merupakan kunci utama bagaimana seharusnya pemerintah menciptakan lingkungan yang sehat. Hal ini dapat dilakukan dengan melihat berbagai kebijakan dalam:
-         Melakukan investasi dalan infrastruktur tradisional dan teknologis
-         Mendorong terjadinya tabungan swasta dan investasi domestik
-         Mengembangkan agresivitas di pasar internasional (ekspor) dan daya tarik bagi investasi asing langsung
-         Fokus pacta kualitas, kecekatan dan transpm'ansi administrasi/birokrasi dan pemerintah     
-         Memelihara keterkaitan antara tingkat upah, produktivitas dan perpajakan
-         Memelihara ketahanan jaringan sosial dan mengurangi disparitas upah, dan memperkuat kelas menengah.
-         Melakukan investasi besar dalam pendidikan, khususnya tingkat menengah, dan pelatihan sepanjang hidup bagi angkatan kerja
-         Melanjutkan dan terus melakukan restrukturisasi sektor keuangan dan perbankan
-         Desentralisasi politik dan ekonomi di tingkat provinsi dan kabupaten
-         Menata kembali kebijakan perdagangan dan penanaman modal, khususnya sektor riil dalam usaha mendorong ekspor
-         Membangun sistem hukum dan peradilan yang efektif termasuk prinsip pengawasan yang baik dan efektif untuk menunjang pembangunan sosial, ekonomi dan politik.
-         Kebijakan pilihan menghidupkan mekanisme pasar sebagai ganti dari heavy intervention policy.
-         Kebijakan ekonorni makro yang non diskriminatif terhadap UKM
-         Kebijakan pilihan strategis industri dan sektor yang dipilih untuk mendukungnya
-         Kebijakan perdagangan dan investasi di tingkat nasional dan di wilayah atau daerah khusus.

C.     PENUTUP
Memang impor diperlukan pada saat-saat kebutuhan pangan atau hasil pertanian tidak dapat dipenuhi dari hasil di dalam negeri. Tetapi persoalannya  tidak boleh langsung mengambil keputusan mengimpor sebelum kekayaan alam yang tersedia di dalam negeri secara sungguh-sungguh dikelola dengan baik. Oleh karena itu pula, persoalan pertanian tidak dapat dipandang sebagai persoalan sektoral, tetapi harus ditempatkan sebagai persoalan negara. Karena itu seluruh  kebijaksanaan harus tunduk terhadap kebutuhan keberlanjutan kehidupan bangsa dan negara dimana pertanian mempakan kunci utamanya.

D.          DAFTAR PUSTAKA
AGRA. 2010. Perampasan Tanah Sebab, Bentuk dan Akibatnya bagi Kaum Tani. Jakarta.
Hutabarat, Regina Facis Julianti. 2010. Nalisis Komposisi Produk Domestik dan Produk  Impor yang Dijual Di Pasar Tradisional Sei Sikambing dan Pasar Modern Hypermart Sun Plaza Di Kota Medan. SKRIPSI. Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara Medan
H.U. Kompas. 2010. Kolom Karantina. Indonesia Sasaran Barang Impor IlegaL. Selasa, 23 Maret 2010
H.U. Kompas. 2011. Kolom Industri. Tak Kompetitif, RI Hanya Jadi Pasar. Selasa, 22 Maret 2011.
H.U. Kompas. 2011. Kebijakan Impor Beras Menuai Protes. Pada Kolom Pangan. Selasa, 15 Maret 2011
Nuryanti, Sri. 2010. Peluang dan Ancaman Perdagangan Produk Pertanian dan Kebijakan untuk Mengatasinya : Studi  Kasus Indonesia dengan Australia dan Selandia Baru. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 8 No. 3, September 2010 : 221-240
Pakpahan, Agus. 2004. Hak Hidup Petani dan Impor Produk Pertanian. Jurnal AKP. Volume 2 No. 1, Maret 2004 : 17-24
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9  Tahun 1995 Tentang UMKM
Undang-Undang Sistem Budidaya Tanaman 1992
Wie, Thee Kian, 1993, Industrialisasi di Indonsia; Beberapa Kajian , Jakarta: LP3ES
Yusuf dan Widyastutik. 2008. Analisis Pengaruh Ekspor-Impor Komoditas Pangan Utama  dan Liberalisasi Perdagangan terhadap Neraca Perdagangan Indonesia. Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB
http://arsipberita.com/show/survei-acfta-sebabkan-penurunan-produksi-di-dalam-negeri-188218.html. Tentang “Survei: ACFTA Sebabkan Penurunan Produksi di dalam Negeri”. Diunduh pada tanggal 23 Maret 2011. 

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Petani vs Barang Impor"

Post a Comment